Kelompok Surya Paloh Menyerang Isi Pidato Megawati, Kenapa ?

Selama satu minggu ini, baik media mainstream maupun media sosial menjadikan pidato Megawati pada HUT PDI Perjuangan ke 50 sebagai bahasan utama. Namun mayoritas isinya adalah ‘serangan’ kepada isi Pidato Megawati yang dianggap merendahkan Presiden. Apakah serangan itu bersikap spontan? Ternyata tidak. Serangan itu by design. Yang mendesain serangan kepada Megawati adalah kelompok Surya Paloh, Nasdem selama ini merasa terancam dengan PDIP menjadikan HUT PDI Perjuangan ke 50 sebagai ‘operasi media’ pembantaian karakter dengan menciptakan Megawati sebagai ‘notorius’ walaupun operasi media ini dinilai berhasil karena menimbulkan kemarahan dari pendukung Jokowi terutama yang tidak terafiliasi dengan PDIP karena terjebak permainan kelompok media Surya Paloh, serangan ini sudah dibaca oleh PDIP dan pihak PDIP mempertanyakan kode jurnalistik apakah masih dipegang media milik Surya Paloh sehingga merilis berita manipulatif berdasarkan opini demi kepentingan politik. Operasi media ini terlihat dari headline “Media Indonesia” yang menuliskan judul : “Megawati Pamer Kuasa Di Depan Jokowi” yang terbit 11 Januari 2023, jadi serangan pembuka yang kemudian memancing kelompok pendukung Jokowi terjebak dalam opini Media milik Surya Paloh.

Yang jadi pertanyaan kenapa Nasdem ambisius sekali membantai PDIP dan berusaha memecah hubungan Jokowi dengan PDIP, jawabannya karena Nasdem terancam dengan gerakan PDIP dan strategi politik Nasdem memecah kekuatan Jokowi dengan PDIP agar tujuan politiknya menaikkan Anies Baswedan berhasil, menghindari reshuffle menteri-menteri kader Nasdem dan juga soal pilihan Pemilu sistem proporsional tertutup.

Isi pidato Megawati sebenarnya adalah evaluasi perjalanan PDIP juga pengalaman yang dialami Megawati dalam pasang surut memimpin PDI di masa Orde Baru yang penuh pergolakan, memimpin jalannya demokrasi pasca lengsernya Suharto dan upaya membangun PDI Perjuangan menjadi Partai terkuat, terorganisir dan ketat sistem kaderisasinya. Juga menceritakan bagaimana PDIP mendukung Jokowi menjadi Presiden sesuai dengan garis kebijakan Partai dan gabungan Partai Pendukung. Segarisnya kebijakan Presiden dengan Partai juga sudah disampaikan Megawati pada tahun 2015 di Bali. Berikut cuplikannya.

“Hal lain yang perlu saya sampaikan disini adalah sikap politik PDI Perjuangan sebagai partai pengusung pemerintahan Bapak Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Kesadaran awal ketika saya memberikan mandat kepada Bapak Jokowi, adalah komitmen ideologis yang berpangkal dari kepemimpinan Trisakti. Suatu komitmen untuk menjalankan pemerintahan negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Konsepsi ini adalah jawaban atas realitas Indonesia yang begitu bergantung dengan bangsa lain. Konsepsi Trisakti inilah yang menjadi kepentingan utama Partai.

Pekerjaan rumah yang lainnya adalah bagaimana mengatur mekanisme kerja antara Pemerintah dan Partai Politik pengusungnya. Hal ini penting, mengingat hubungan keduanya adalah kehendak dan prinsip dalam demokrasi itu sendiri. Landasan konstitusionalnya pun sangat jelas. UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, mengamanatkan bahwa presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Itulah mekanisme konstitusional yang kita kenal. Hukum demokrasilah yang mengatur itu, bahwa presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik Partai. Untuk itulah, mengapa kebijakan partai menyatu dengan kehendak rakyat, dan mengapa Partai harus mengorganisir rakyat sehingga suara-suara yang tersembunyi sekalipun dapat disuarakan Partai. Prinsip demokrasi inilah yang saya jalankan. Penjelasan ini sangat relevan, mengingat ada sementara pihak, dengan mengatasnamakan independensi, selalu mengatakan bahwa Partai adalah beban demokrasi. Saya tidak menutup mata terhadap berbagai kelemahan Partai Politik. Di sinilah kritik dan otokritik kami jalankan. Namun, mengatakan bahwa Partai hanya sebagai ornament demokrasi; dan hanya sekedar alat tunggangan kekuasaan politik, sama saja mengerdilkan makna dan arti kolektivitas Partai yang berasal dari rakyat. Fenomena ini nampak jelas, ketika pada saat bersamaan muncullah gerakan deparpolisasi. Sentimen anti partai pun, makin lantang diteriakkan dalam kerumunan liberalisasi politik. Saya yakin bahwa proses deparpolisasi ini tidak berdiri sendiri. Di sana, ada simbiosis kekuatan anti Partai dan kekuatan modal, yang berhadapan dengan gerakan berdikari. Mereka adalah kaum oportunis. Mereka tidak mau berkerja keras membangun Partai. Mereka tidak mau mengorganisir rakyat, kecuali menunggu, menunggu, dan selanjutnya menyalip di tikungan saudara-saudara. Karena itulah kembali saya tegaskan, bahwa jalan ideologi adalah pilihan benar. Jalan ideologi yang membentang terjal dihadapan kita, adalah jalan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Inilah prinsip konstitusionalisme yang selalu jadi rujukan kita saudara-saudara.

Atas dasar konstitusi pula, saya berulang kali menyampaikan kepada Presiden, pegang teguhlah konsitusi itu. Berpijaklah pada konsitusi karena itulah jalan kenegaraan. Penuhilah janji kampanye-mu, sebab itulah ikatan suci dengan rakyat.
(PIDATO PEMBUKAAN KONGRES KE – IV PDI PERJUANGAN, Kota Denpasar 9 April 2015)

Jadi memang kebijakan Presiden harus sejalan dengan kebijakan Partai pendukung karena itu idealisme politik demokrasi. Tapi apa yang dilakukan Nasdem sejauh ini malah menjungkir balikkan logika politik demokrasi. Kini ia mendukung Anies Baswedan yang disebut Zulfan Lindan sebagai ‘Antitesis Jokowi’, membangun persekutuan politik dengan partai-partai oposisi tapi tetap memaksa dirinya di dalam kabinet, menggunakan menteri-menterinya sebagai alat partai untuk setor dana buat kepentingan logistik politik terbukti Nasdem dengan berani mempermainkan hukum demi kepentingan gain politiknya dengan menempatkan Jaksa Agung pada kabinet Jokowi jilid pertama, sebagai alat tekan untuk membajak kader-kader partai lain. Nasdem juga tidak serius membangun Partai-nya, ia menunggu di tikungan dan memanfaatkan kerja politik partai lain untuk membesarkan pengaruh politiknya. Ucapan Nasdem adalah restorasi sesungguhnya hanya kantor Partai-nya saja yang direstorasi tapi gedung itupun atas nama Perusahaan Surya Paloh, bukan atas nama Partai.

Sebagai Partai kecil yang baru lahir, Nasdem ingin cepat instan besar tanpa mempedulikan kerja kader. Pada Pemilu 2019 Nasdem asal mencomot banyak artis sebagai vote getter Pemilu, melakukan pembajakan kader Partai lain incumbent anggota DPR bahkan sampai 16 orang dibajak Nasdem. Hal yang dikuatirkan Nasdem adalah partai besar macam PDIP secara implisit Nasdem ingin adanya gerakan deparpolisasi, menciutkan peranan partai politik agar kaum modal bisa menguasai dunia politik. Nasdem juga tak suka masuknya Prabowo ke dalam kabinet seraya menyalahkan PDIP sebagai biang keladi masuknya Prabowo ke kabinet. Padahal masuknya Prabowo ke kabinet Jokowu justru menurunkan tensi ketegangan politik, bukannya ikut menurunkan tensi ketegangan Surya Paloh justru membawa Anies Baswedan ke panggung politik bermula pada akhir tahun 2019 ketika Megawati menjamu Prabowo dengan nasi goreng.

Nasdem juga menyalahkan PDIP soal isu reshuffle. Padahal apa yang disampaikan PDIP dan banyak pihak bahwa secara logika demokrasi Nasdem harusnya mundur karena telah bersekutu dengan lawan politik Jokowi. Tapi Nasdem menjungkir balikkan logika kompetisi politik, menganggap sepi usulannya untuk mundur. Juga soal dukungan PDIP dan PBB soal Pemilu Proporsional tertutup, Nasdem khawatir bila pemilu Proporsional tertutup dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) maka aksi bajak membajak kader akan tertutup, peluangnya untuk merampas suara di kantong-kantong padat suara dengan membajak kader populer akan hilang. Inilah kenapa Nasdem dendam sekali dengan PDIP sehingga tega melakukan politik pembantaian karakter Megawati lewat operasi media.

Nasdem juga menyalahkan PDIP soal indikasi gagalnya Persekutuan Politik “Koalisi Perubahan” bahkan dengan berani meminta Jokowi memerintahkan Nasdem mencabut mencalonkan Anies maka Nasdem akan mencabut. Inilah sikap plin plan Surya Paloh yang tanpa prinsip politik. Surya Paloh menaikkan Anies ketika terlihat koalisi gagal malah meminta Jokowi bertanggung jawab.

Jadi benar kata Zulfan Lindan di Youtube “Total Politik”.
“Surya Paloh itu gak paham ilmu ideologi”.

 

 

Ditulis : Anton DH Nugrahanto

Related posts